Kecintaan kepada Allah I adalah salah satu dasar pokok dalam
Islam, dengan sempurnanya cinta kita kepada-Nya, maka sempurnalah tauhid kita
kepada-Nya dan demikian juga sebaliknya. Dari sini kita ketahui bahwa cinta
mempunyai pengaruh yang besar dalam tauhid seseorang, oleh sebab itu kecintaan
kita kepada Allah I harus mendapatkan tempat teratas dari rasa cinta yang kita miliki,
karena apabila kecintaan kita kepada selain Allah I lebih besar dari cinta kita kepada-Nya, maka hal ini dapat
menjerumuskan kita kepada perbuatan syirik. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah
I dalam firman-Nya :
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ
يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (البقرة : 165 (.
“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[1],mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal)”. ( QS. Al-Baqaroh
: 165 )
Dalam kitab madarijus salikin disebutkan : Allah I memberikan kabar bahwa barang siapa yang cinta kepada
selain diri-Nya sebagaimana cintanya kepada diri-Nya maka ia sebagaimana orang yang
menjadikan bagi diri-Nya tandingan-tandingan. Hal ini adalah persekutuan dalam
kecintaan bukan dalam mencipta dan sifat ketuhanan, karena tidak ada seorangpun
dari penduduk bumi yang mampu mempersekutukannya, berbeda dengan persekutuan
kecintaan, kebanyakan penduduk bumi telah menjadikan tandingan-tandingan selain
Allah I dalam kecintaan dan penghormatan. Kemudian Allah I berfirman :
وَالَّذِينَ
آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ،
“ Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.
Dalam ayat di atas, terdapat dua pendapat [2]:
1.
Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada
Allah I daripada
kecintaan para penyembah tandingan-tandingan itu kepada sesembahan mereka, yang
mereka mencintainya dan mengagungkannya selain Allah.
Ibnu jarir meriwayatkan dari Mujahid
tentang firman Allah I “mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”
dengan nada bangga serta menyerupakan Allah I dengan tandingan-tandingan selain-Nya, " Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah I "daripada kecintaan orang-orang kafir kepada berhala-berhala mereka,
kemudian Ibnu jarir meriwayatkan dari Ibnu Zaid, ia berkata “ mereka orang-orang
musyrik, sekutu-sekutu mereka adalah tuhan-tuhan mereka yang mereka sembah di samping
mereka menyembah Allah I, mereka mencintainya sebagaimana orang-orang mukmin mencintai
Allah I, akan tetapi kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah I lebih besar
dari pada kecintaan orang-orang musyrik kepada sesembahan-sesembahan mereka” .
2.
Orang-orang yang beriman
lebih cinta kepada Allah I daripada
kecintaan orang-orang musyrik kepada-Nya, dikarenakan kecintaan orang-orang
mukmin adalah murni, sedangkan kecintaan orang-orang penyembah tandingan-tandingan
selain Allah I telah diambil
oleh sekutu-sekutu mereka, sehingga kecintaan yang tulus pada satu hal lebih
besar daripada kecintaan yang bercabang
banyak .
Dua
pendapat diatas adalah dampak dari dua pendapat dalam firman Allah I "mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah " pada
ayat ini terdapat dua pendapat :
1.
Mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah I, dengan demikian ayat ini menetapkan bahwa mereka mempunyai cinta
kepada Allah I, akan tetapi kecintaan itu mereka bagi antara Allah I dan
sekutu-sekutu mereka.
2.
Mereka
mencintai sekutu-sekutu mereka sebagaimana orang-orang mukmin mencintai Allah I. Kemudian Allah menerangkan bahwa kecintaan orang-orang mukmin
kepada Allah I lebih besar
daripada kecintaan kaum musyrikin kepada sekutu-sekutu mereka .
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin membagi cinta menjadi dua
macam[3] :
1.
Mahabatul
ibadah (cinta dalam masalah ibadah).
Maksudnya adalah seseorang
menanamkan dalam hatinya akan tinggi , besar serta sucinya sesuatu yang ia
cintai tersebut sehingga menuntut kepadanya untuk mengerjakan perintahnya serta
meninggalkan larangannya. Kecintaan semacam ini tidak diboleh diberikan kecuali
hanya kepada Allah I.
2.
Mahabatu
ghairil ibadah (cinta selain
dalam masalah ibadah), kecintaan ini terbagi menjadi empat macam :
1)
Mahabbah (kecintaan) yang mendatangkan
kecintaan kepada Allah I sebagaimana cinta dan benci karena
Allah I.
2)
Mahabbah (kecintaan) yang
dikarenakan rasa kasih sayang, sebagaimana kecintaan orang tua terhadap
anaknya, kecintaan terhadap orang fakir dan orang sakit.
3)
Mahabbah (kecintaan) dikarenakan
memulyakan terhadap sesuatu tetapi bukan berupa ibadah sebagaimana cintanya
seseorang terhadap anaknya atau terhadap orang yang pandai .
4)
Mahabbah (kecintaan) yang bersifat
tabiat dari manusia itu sendiri, sebagaimana kecintaan seseorang terhadap
makanan, minuman, menikah dan hewan tunggangan (kendaraan) dan lain-lain .
Syeikh
Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘atiq berkata “ Ketahuilah bahwasannya
mahabbah (kecintaan) itu dibagi menjadi dua yaitu musytarikah dan mukhtashoh[4].
Adapun musytarikah mempunyai tiga macam :
1)
Mahabbah (kecintaan) yang bersifat tabiat
manusia sebagaimana seorang yang lapar cinta terhadap makanan.
2)
Mahabbah ( kecintaan ) dikarenakan rasa kasih sayang dan belas kasihan sebagaimana
kecintaan orang tua kepada anaknya.
3)
Mahabbah (kecintaan) dikarenakan kesenangan, profesi atau hoby, sebagaimana
seseorang cinta terhadap perniagaannya atau seseorang yang cinta dengan hobby
safarnya.
Semua macam kecintaan di atas tidak
akan menjadikan kita syirik mahabbah kepada Allah I apabila tidak
didasari dan disertai dengan pengagungan
terhadap hal-hal tersebut .
Adapun mahabbah (kecintaan)
yang kedua yaitu mahabbah mukhthashoh adalah mahabbah ubudiyah
(kecintaan dalam masalah ibadah) yang didasari dan disertai dengan sikap hina
dihadapan-Nya, merendah diri, pengagungan dan ketaatan serta senantiasa
mendahulukan kemauan yang kita cintai daripada kemauan diri kita sendiri, kacintaan
semacam ini tidak diperbolehkan kecuali hanya kepada Allah I, maka barang siapa yang mencintai sesuatu selain Allah I dengan kecintaan yang kedua ini sungguh ia telah terjerumus
kedalam syirik akbar ( besar )[5].
Kecintaan seseorang terhadap sesuatu
itu akan dapat diketahui dari sikap dan tindakan yang telihat pada perbuatan
sehari-harinya,sehingga apabila seseorang mengaku cinta terhadap sesuatu maka
ia akan selalu mengerjakan hal-hal yang disukai oleh yang ia cintai tersebut
dan akan selalu menghindari hal-hal yang tidak disukai oleh yang ia cintai
tersebut,demikian pula dengan cinta seseorang terhadap Allah I. Apabila seseorang mengaku cinta kepada Allah maka ia akan
senantiasa mengerjakan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Diantara
tanda-tanda cinta kepada Allah I adalah sebagai
berikut :
1.
Mengikuti
rasulullah r.
Perlu diketahui
apabila seseorang mengaku mengikuti rasulullah r maka akan timbul dalam dirinya cinta
kepada apa-apa yang dibawa olehnya. Sehingga ia akan mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-laranga-Nya, maka ketika hal
ini ada dalam diri seseorang ketahuilah bahwa ia telah dikatakan mengikuti r, akan tetapi apabila hal di atas
tidak ada dalam diri seseorang maka kecintaan dan itiba’ ia kepada
rasulullah r belum mencapai kepada sesuatu yang
diharapkan dan diinginkan. Sebagaimana firman Allah I :
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31)
“ Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.
Ali imron : 31)
Ayat ini mendustakan kecintaan orang yang mengaku cinta kepada
Allah I, akan tetapi ia tidak berada pada jalannya nabi Muhammad r dan tidak mengikutinya, sampai ia
mengikuti syariat yang dibawa oleh Muhammad r dalam setiap ucapan, perbuatan dan kondisinya[6].
Sebagaimana hadist dari Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu anha
bahwasannya rasulullah r bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ( رواه مسلم
) .
“ Barang siapa yang beramal yang tidak ada perintahnya dari kami maka
amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim
)
Hasan Al-Basyri dan
sebagian salaf berkata[7] :
Sekelompok kaum beranggapan bahwa mereka
cinta kepada Allah I, maka Allah I menguji
kecintaan mereka dengan ayat ini :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (31 ) .
Ayat
31 dari surat Ali- Imron ini disebut dengan ayat mahabbah karena
didalamnya menerangkan akan kecintaan
seorang kepada Allah I dan disebut juga dengan ayat imtihan
(cobaan) karena dalam ayat ini terkandung didalamnya cobaan bagi orang yang
mengaku cinta kepada Allah I .
2. Lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap
orang-orang kafir. Maksudnya adalah berkasih sayang dan berlemah lembut
sebagaimana digambarkan oleh Atho’ rahimahumullah bahwasannya seorang
mukmin dengan yang lainnya bagaikan seorang anak kepada orang tuanya dan
seperti budak kepada tuannya, sedangkan terhadap orang kafir bagaikan seekor
singa yang siap menerkam dan memangsa
buruannya .
3. Jihad di jalan Allah I baik dengan diri, harta dan lisan, ini adalah
perwujudan dari pengakuan cinta kepada Allah I.
4. Mereka dalam urusan Allah I tidak memperdulikan celaan orang-orang yang
mencela,ini adalah tanda dari jujurnya
kecintaan.
Tiga tanda diatas berdasarkan kepada firman
Allah I:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ( المائدة
: 54 ).
“ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap
lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui”. ( QS. Al-Maidah :54 )
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah
berkata “ Sesungguhnya
diantara sarana-sarana yang menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah I adalah sebagai
berikut :
1.
Membaca
Al-qur’an disertai dengan mentadaburi, memahami arti dan maksud yang
dikehendaki dari ayat tersebut.
2.
Mendekatkan
diri kepada Allah I dengan
amalan-amalan sunnah setelah melaksnakan amalan-amalan wajib.
3.
Selalu
berdzikir pada setiap keadaan baik dengan lisan, hati dan perbuatan. Maka kecintaan
Allah I kepadanya
sebesar kecintaannya kepada Allah I.
4.
Mendahulukan
apa yang dicintai Allah I atas apa yang
disenangi dirinya sendiri pada saat hawa nafsu menguasainya.
5.
Membiasakan
hati untuk selalu memahami dan menghayati nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
6.
Selalu
mengakui dan bersyukur atas semua kebaikan-kebaikan dan nikmat-nikmat-Nya
baik yang dzahir maupun yang batin .
7.
Berendah
diri dihadapan-Nya.
8.
Berkholwat
dengan Allah I pada waktu
turunnya Allah I maksudnya pada
saat sepertiga malam terakhir dengan membaca kitab-Nya, dan menutup dengan
bertaubat kepada-Nya.
9.
Berkumpul
bersama orang-orang yang dicintai Allah I dengan
kejujuran dan selalu mengambil hikmah dari perkataan mereka.
10.
Menjauhi
segala hal-hal yang dapat menghalangi antara
hatinya dengan Allah I.
Dengan kesepuluh sarana
di atas, orang-orang yang menciantai Allah I akan sampai
kepada derajat kecintaan yang paling tinggi dan dapat masuk mendekat keharibaan
Allah I yang menjadi
tumpuan cintanya.
Sahabat Anas radhiyallahu anhu berkata : rasulullah r bersabda :
لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده
والناس أجمعين ( رواه البخارى و مسلم ).
“ Tidak
sempurna keimanan seseorang diantara kamu sebelum aku lebih dicintai olehnya
daripada anaknya,orang tuanya dan manusia seluruhnya”. ( HR. Bukhori dan Muslim )
Dari
Umar beliau berkata, “Aku
berkata kepada rasulullah r "Wahai
rasulullah, engkau lebih aku cintai daripada sesuatu apapun kecuali jiwaku, maka rasulullah r bersabda “ Tidak
sempurna keimanan seseorang sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya
sendiri ”maka Umar berkata “Demi dzat yang menurunkan kitab kepada
engkau, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri " kemudian rasulullah r berkata “
sekarang wahai Umar ? sedangkan Allah I telah berfirman[8]
:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [ التوبة : 24 ] .
“ Katakanlah: "Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik”. (QS.At-Taubah : 24 )
Perhatikanlah kepada peringatan yang
keras yang dijanjikan Allah I kepada
orang yang lebih mencintai keluarganya dan hartanya daripada cintanya kepada
Allah I, rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya.
Maka ketahuilah bahwa kecintaan kepada nabi Muhammad r adalah syarat dari pada keimanan, oleh sebab itu
hendaklah rasulullah r lebih engkau cintai daripada anakmu, orangtuamu,
manusia seluruhnya dan juga beliau lebih engkau cintai dari dirimu sendiri[9].
Rasulullah r juga bersabda
sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Anas radhiyallahu anhu :
ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ
، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ في الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ في النَّارِ (رواه البخارى ).
“ Ada tiga perkara
yang barang siapa terdapat didalam dirinya tiga perkara tersebut,dia pasti
merasakan manisnya iman,yaitu Allah dan rosulNya lebih ia cintai daripada yang
lainnya,mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah,dan tidak mau kembali
kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran tersebut
sebagaimana tidak maunya ia kalau dicampakkan kedalam neraka”. ( HR. Bukhori )
Hadist
di atas dapat dijadikan dalil bahwa kecintaan kepada Allah I dan rasul-Nya harus didahulukan daripada kecintaan
kepada selain keduanya, dikarenakan kecintaan kepada Allah I dan rasul-Nya
merupakan tanda dari kesempurnaan keimanan seseorang, sehingga seseorang tidak
akan sempurna keimanannya kecuali dengan perkara tersebut[10].
Dalam
hadits di atas rasulullah r mengkabarkan kepada kita bahwasannya apabila di dalam diri seorang
muslim terpenuhi tiga hal yaitu :
1.
Mendahulukan kecintaan kepada Allah I dan rasul-Nya daripada selain kedua-Nya baik berupa
kecintaan kepada keluarga maupun harta.
2.
Mencintai orang lain dikarenakan
keimanannya dan ketaatannya kepada Allah I bukan dikarenakan tujuan dunia.
3.
Benci kembali kepada kekafiran dangan kebencian yang sangat, sebagaimana bencinya
ia jika dimasukkan kedalam neraka setelah dikeluarkan darinya.
Maka ia akan merasakan manisnya iman, merasakan manisnya
mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah I serta mengerjakan
kewajiban-kewajiban dalam rangka mendapatkan ridho-Nya [11].
Adapun penjelasan
tentang bentuk manisnya keimanan adalah sebagaimana disebutkan oleh beberapa
ulama diataranya :
@
Imam As-suyuthi rahimahumullah
berkata berkata
dalam At-Tausyih “ Merasakan manisnya iman " Didalam kalimat tersebut terdapat penggambaran, yaitu minat
orang mukmin dalam beriman diibaratkan
sesuatu yang manis, dan ditetapkan baginya hasil atau buah yang diperolehnya.
@
An-Nawawi berkata “ Arti manisnya
iman adalah merasakan kelezatan dalam taat kepada-Nya, dan tabah dalam
mengarungi segala kesulitan, serta selalu mengutamakan kepentinganya daripada
kepentingan duniawinya. kecintaan seorang
hamba kepada Allah I dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjahui sikap membangkang terhadap-Nya begitupula
terhadap rasulullah I.
@
D.R Shalih Al-fauzan menyebutkan adapun yang dimaksud dengan
merasakan kemanisan iman adalah merasakan kelezatan tatkala mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada
Allah I dan
mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya hanya karena mencari
ridho-Nya[12].
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata “ Maka kemanisan iman yang didalamnya terdapat
kelezatan dan kebahagian, tergantung kepada kesempurnaan kecintaan seorang
hamba kepada Allah I. Kesempurnaan itu dapat dicapai dengan tiga hal, yaitu
menyempurnakan kecintaan ini, memurnikannya, dan menghindari lawannya. Menyempurnakan cinta hendaknya
dengan lebih mencintai Allah I dan rasul-Nya daripada yang lain, karena cinta kepada
Allah I tidak
cukup hanya sekedar cinta akan tetapi
harus lebih mencintai keduanya daripada yang lainnya[13].
Dengan kita selalu mendahulukan
kecintaan kita kepada Allah I maka akan menimbulkan sikap cinta karena Allah I dan benci karena Allah I. Cinta dan benci karena Allah I adalah tanda dari kesempurnaan iman kepada-Nya. Sebagaimana
rasulullah r bersabda :
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد
استكمل الإيمان ( رواه أبو داود ).
“ Barang siapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi
karena Allah, mencegah karena Allah maka sungguh sempurnalah keimanannya”. (HR. Abu Dawud)
Sikap cinta dan benci karena Allah I adalah tali simpul Islam yang paling kuat, sebagaimana dijelaskan
oleh rasulullah r dalam sabdanya :
عَنْ
الْبَرَاءِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «
أَوْثَقُ عُرَى الإسلام الْحُبُّ فِي اللهِ ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ » .
“Dari
Bara’ beliau berkata, bersabda rasulullah r “ Tali simpul islam yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena
Allah " .
Dalam hadist di
atas menjelaskan bahwa sesungguhnya tali simpul Islam yang paling kuat adalah
cinta karena Allah I dan benci karena Allah I. Adapun keberadaanya di dalam kehidupan kaum muslimin adalah sebagai
pengokoh bagi tauhid dan akhlaq mereka dalam menghadapi gelombang arus kebatilan
dari agama-agama selain Islam dan hukum-hukum baru buatan manusia.
Dalam masalah ini
(cinta karena Allah I dan benci
karena-Nya ) terdapat beberapa pembahasan sebagaimana yang disebutkan oleh para
ulama diantaranya[14] :
1.
Sesungguhnya
cinta karena Allah I dan benci karena Allah I adalah cabang
dari cinta kepada Allah I. Ini adalah ketentuan yang tidak dapat dipungkiri lagi, karena
tidak mungkin timbul kecintaan dan kebencian karena Allah tanpa didasari
terlebih dahulu di dalam dirinya cinta dan beribadah hanya kepada-Nya. Maka
ketika ibadah seseorang kepada Allah bertambah, bertambah pula kecintaan dan
kebencian karena Allah I dan demikian
juga sebaliknya .
2.
Sesungguhnya
cinta dan benci karena Allah I mempunyai ketentuan dan konsekuensi. Adapun ketentuan cinta karena
Allah I adalah berwali
kepada yang kita cintai tersebut, sedangkan ketentuan benci karena Allah I adalah bara’ atau berlepas diri dari yang kita benci
tersebut. Cinta dan benci adalah perbutan batin sedangkan reaksi yang
ditimbulkan dari kedua hal tersebut yang berupa wala’ dan bara’
adalah perbuatan dzahir, misal dari wala’ dan bara’ adalah menasehati dan menolong orang-orang muslim, dan
berhijrah dari negeri kafir kenegeri muslim. Maka ketika hilang konsekuensi
yaitu wala’ dan bara’ maka hilang juga cinta dan benci karena
Allah I. Wala’ dan bara’ akan senantiasa melekat dan timbul
dari keduanya cinta karena Allah dan benci karena Allah I dalam keimanan
seorang muslim.
3.
Sesungguhnya
cinta dan benci karena Allah I adalah faktor
terbesar bagi kemenangan agama Islam ini, dan mencegah penganiyaan orang-orang
musyrik serta musuh-musuh Islam terhadap orang-orang muslim .
Dari pemaparan di atas dapat kita
simpulkan bahwa cinta mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama ini, sehingga
cinta ini dapat digunakan sebagai barometer dari sempurna atau tidaknya tauhid
seseorang kepada Allah I.
Menempatkan
cinta tidak sesuai pada tempatnya akan berakibat fatal bagi pelakunya, sehingga
apabila cinta yang seharusnya ditempatkan dan ditunjukkan kepada Allah I itu
ditunjukkan pada selain-Nya maka pelakunya akan mendapatkan siksa yang pedih karena dia telah berbuat syirik
kepada-Nya. Oleh sebab itu seyogyanya bagi kita untuk berhati-hati dalam
meletakkan cinta yang kita miliki agar kita terhindar dari yang demikian.
Referensi :
1.
Fathul majid, Syeikh Abdurrahman Alu syeikh.cetakan : Darul
Aqidah .
2.
Al-fawaid
Al-muntaqoh fii syarhi kitab at-tauhid, Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin. cetakan : Darut thowiq lii nasyri wa tauzi’ .
3.
Tahqiqu
Tajrid bii syarhil kitab tauhid, Abdul Hadi bin
Muhammad bin Abdul Hadi Al-Bakari Al-‘ajili.
4.
At-tamhid
lii syarhi kitab At-tauhid Aladzi huwa haqqulloh ‘ala ‘abid, Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu
Syeikh.cetakan : Darut tauhid.
5.
Al-mulakhos
fii syarhi kitab At-tauhid, D.R Shalih bin Fauzan
bin Abdullah Al-Fauzan.cetakan : Darul ‘ashomah.
6.
Ibtholu Tandid Biikhtishori Kitab Tauhid, Alamah Syeikh Hamd Bin Ali Bin
Muhammad Bin Atiq .Cetakan : Darul Kitab Wa Sunah Pakistan .
7.
Tafsir Qur’anul Adzim, Abu Fida’
Ismail Bin Umar Bin Katsir Al-Qurosyi Ad-Dimasyqi.
8.
Al-Mufashol Fii Ahkami Hijrah, Ali Bin Nahif As-Sahudi.
9.
Mausu’atu a‘Ala Sufiayah .
[2] . Fathul
majid , Syeikh Abdurrahman Alu syeikh, hal : 320 .
[3] .
Al-Fawaid Al-Muntaqoh Fii Syarhi Kitab At-Tauhid oleh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin hal : 31 – 32 .
[4] .
Ibtholi Tandid Biikhtishori Kitab Tauhid , Al-Alamah
Syeikh Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘atiq.hal : 193 .
[5] . Ibtholi tandid biikhtishori kitab tauhid,
Al-Alamah Syeikh Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘atiq.hal : 193 .
[6] . Tafsir qur’anul adzim, Abu Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir
Al-qurosyi Ad-dimasyqi.juz : 3 hal : 46 .
[7] . Ibid .
[8]
. Tahqiqu Tajrid bii syarhil kitab tauhid,
Abdul Hadi bin Muhammad bin Abdul Hadi Al-bakari Al-‘ajili.juz : hal : 336 .
[9] .
Ibid, hal : 335 .
[10]
. At-tamhid lii syarhi kitab At-tauhid
Aladzi huwa haqqulloh ‘ala ‘abid, Shalih bin Abdu Aziz bin Muhammad bin
Ibrohim Alu Syeikh.hal : 364 .
[11] .
Al-mulakhos fii syarhi kitab At-tauhid, D.R Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-fauzan.hal :254 .
[12] .
Ibid.
[13] .
Fathul majid, Syeikh Abdurrahman Alu syeikh,hal : 326 .
[14] .
Al-mufashol fii ahkami hijrah, Ali bin nahif as-sahudi .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar