Jumat, 23 Desember 2011

Cinta kepada Allah


Kecintaan kepada Allah I adalah salah satu dasar pokok dalam Islam, dengan sempurnanya cinta kita kepada-Nya, maka sempurnalah tauhid kita kepada-Nya dan demikian juga sebaliknya. Dari sini kita ketahui bahwa cinta mempunyai pengaruh yang besar dalam tauhid seseorang, oleh sebab itu kecintaan kita  kepada Allah I harus mendapatkan tempat teratas dari rasa cinta yang kita miliki, karena apabila kecintaan kita kepada selain Allah I lebih besar dari cinta kita kepada-Nya, maka hal ini dapat menjerumuskan kita kepada perbuatan syirik. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah I dalam firman-Nya :     
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ  (البقرة : 165 (.
“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[1],mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”. ( QS. Al-Baqaroh : 165 )
Dalam kitab madarijus salikin disebutkan : Allah I memberikan  kabar bahwa barang siapa yang cinta kepada selain diri-Nya sebagaimana cintanya  kepada diri-Nya maka ia sebagaimana orang yang menjadikan bagi diri-Nya tandingan-tandingan. Hal ini adalah persekutuan dalam kecintaan bukan dalam mencipta dan sifat ketuhanan, karena tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang mampu mempersekutukannya, berbeda dengan persekutuan kecintaan, kebanyakan penduduk bumi telah menjadikan tandingan-tandingan selain Allah I dalam kecintaan dan penghormatan. Kemudian Allah I  berfirman :
 وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ  ،
“ Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.
Dalam ayat di atas, terdapat dua pendapat [2]:
1.     Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah I daripada kecintaan para penyembah tandingan-tandingan itu kepada sesembahan mereka, yang mereka mencintainya dan mengagungkannya selain Allah.
Ibnu jarir meriwayatkan dari Mujahid tentang firman Allah I “mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah” dengan nada bangga serta menyerupakan Allah I dengan tandingan-tandingan selain-Nya, " Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah I  "daripada kecintaan orang-orang kafir kepada berhala-berhala mereka, kemudian Ibnu jarir meriwayatkan dari Ibnu Zaid, ia berkata “ mereka orang-orang musyrik, sekutu-sekutu mereka adalah tuhan-tuhan mereka yang mereka sembah di samping mereka menyembah Allah I, mereka mencintainya sebagaimana orang-orang mukmin mencintai Allah I, akan tetapi kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah I lebih besar dari pada kecintaan orang-orang musyrik kepada sesembahan-sesembahan mereka” .
2.      Orang-orang  yang beriman  lebih cinta kepada Allah I daripada kecintaan orang-orang musyrik kepada-Nya, dikarenakan kecintaan orang-orang mukmin adalah murni, sedangkan kecintaan orang-orang penyembah tandingan-tandingan selain Allah I telah diambil oleh sekutu-sekutu mereka, sehingga kecintaan yang tulus pada satu hal lebih besar daripada kecintaan  yang bercabang banyak . 
Dua pendapat diatas adalah dampak dari dua pendapat dalam firman Allah I "mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah " pada ayat ini terdapat dua pendapat :
1.      Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah I, dengan demikian ayat ini menetapkan bahwa mereka mempunyai cinta kepada Allah I, akan tetapi kecintaan itu mereka bagi antara Allah I dan sekutu-sekutu mereka.
2.      Mereka mencintai sekutu-sekutu mereka sebagaimana orang-orang mukmin mencintai Allah I. Kemudian Allah menerangkan bahwa kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah I lebih besar daripada kecintaan kaum musyrikin kepada sekutu-sekutu mereka . 
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin membagi cinta menjadi dua macam[3] :
1.      Mahabatul ibadah (cinta dalam masalah ibadah).
Maksudnya adalah seseorang menanamkan dalam hatinya akan tinggi , besar serta sucinya sesuatu yang ia cintai tersebut sehingga menuntut kepadanya untuk mengerjakan perintahnya serta meninggalkan larangannya. Kecintaan semacam ini tidak diboleh diberikan kecuali hanya kepada Allah I.
2.      Mahabatu ghairil ibadah (cinta selain dalam masalah ibadah), kecintaan ini terbagi menjadi empat macam :
1)      Mahabbah (kecintaan)  yang mendatangkan kecintaan kepada Allah I sebagaimana cinta dan benci karena  Allah I.
2)      Mahabbah (kecintaan)  yang dikarenakan rasa kasih sayang, sebagaimana kecintaan orang tua terhadap anaknya, kecintaan terhadap orang fakir dan orang sakit.
3)      Mahabbah (kecintaan)  dikarenakan memulyakan terhadap sesuatu tetapi bukan berupa ibadah sebagaimana cintanya seseorang terhadap anaknya atau terhadap orang yang pandai .
4)      Mahabbah (kecintaan)  yang bersifat tabiat dari manusia itu sendiri, sebagaimana kecintaan seseorang terhadap makanan, minuman, menikah dan hewan tunggangan (kendaraan) dan lain-lain  .
Syeikh Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘atiq berkata “ Ketahuilah bahwasannya mahabbah (kecintaan) itu dibagi menjadi dua yaitu musytarikah dan  mukhtashoh[4]. Adapun musytarikah mempunyai tiga macam :
1)   Mahabbah (kecintaan) yang bersifat tabiat  manusia sebagaimana seorang yang lapar cinta terhadap makanan.
2)   Mahabbah ( kecintaan ) dikarenakan rasa kasih sayang dan belas kasihan sebagaimana kecintaan orang tua kepada anaknya.
3)   Mahabbah (kecintaan) dikarenakan kesenangan, profesi atau hoby, sebagaimana seseorang cinta terhadap perniagaannya atau seseorang yang cinta dengan hobby safarnya.
Semua macam kecintaan di atas tidak akan menjadikan kita syirik mahabbah kepada  Allah I apabila tidak didasari dan disertai  dengan pengagungan terhadap hal-hal tersebut .
Adapun mahabbah (kecintaan) yang kedua yaitu mahabbah mukhthashoh adalah mahabbah ubudiyah (kecintaan dalam masalah ibadah) yang didasari dan disertai dengan sikap hina dihadapan-Nya, merendah diri, pengagungan dan ketaatan serta senantiasa mendahulukan kemauan yang kita cintai daripada kemauan diri kita sendiri, kacintaan semacam ini tidak diperbolehkan kecuali hanya kepada Allah I, maka barang siapa yang mencintai sesuatu selain Allah I dengan kecintaan yang kedua ini sungguh ia telah terjerumus kedalam syirik akbar ( besar )[5].
Kecintaan seseorang terhadap sesuatu itu akan dapat diketahui dari sikap dan tindakan yang telihat pada perbuatan sehari-harinya,sehingga apabila seseorang mengaku cinta terhadap sesuatu maka ia akan selalu mengerjakan hal-hal yang disukai oleh yang ia cintai tersebut dan akan selalu menghindari hal-hal yang tidak disukai oleh yang ia cintai tersebut,demikian pula dengan cinta seseorang terhadap Allah I. Apabila seseorang mengaku cinta kepada Allah maka ia akan senantiasa mengerjakan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya. Diantara tanda-tanda cinta kepada Allah I adalah sebagai berikut :
1.         Mengikuti rasulullah r.
        Perlu diketahui apabila seseorang mengaku mengikuti rasulullah r maka akan timbul dalam dirinya cinta kepada apa-apa yang dibawa olehnya. Sehingga ia akan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-laranga-Nya, maka ketika hal ini ada dalam diri seseorang ketahuilah bahwa ia telah dikatakan mengikuti r, akan tetapi apabila hal di atas tidak ada dalam diri seseorang maka kecintaan dan itiba’ ia kepada rasulullah r belum mencapai kepada sesuatu yang diharapkan dan diinginkan. Sebagaimana firman Allah I : 
 قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31)
“ Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali imron : 31)
          Ayat ini mendustakan kecintaan orang yang mengaku cinta  kepada  Allah I, akan tetapi ia tidak berada pada jalannya nabi Muhammad r dan tidak mengikutinya, sampai ia mengikuti syariat yang dibawa oleh Muhammad r dalam setiap ucapan, perbuatan dan kondisinya[6]. Sebagaimana hadist dari   Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu anha bahwasannya rasulullah r bersabda  :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ( رواه مسلم ) .
“ Barang siapa yang beramal yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim )
   Hasan Al-Basyri dan sebagian salaf berkata[7] : Sekelompok kaum beranggapan bahwa  mereka cinta kepada Allah I, maka Allah I menguji kecintaan mereka dengan ayat ini :
 قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31 ) .
                      Ayat 31 dari surat Ali- Imron ini disebut dengan ayat mahabbah karena
didalamnya menerangkan akan kecintaan seorang kepada Allah I dan disebut juga dengan ayat imtihan (cobaan) karena dalam ayat ini terkandung didalamnya cobaan bagi orang yang mengaku cinta kepada Allah I .
2.    Lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Maksudnya adalah berkasih sayang dan berlemah lembut sebagaimana digambarkan oleh Atho’ rahimahumullah bahwasannya seorang mukmin dengan yang lainnya bagaikan seorang anak kepada orang tuanya dan seperti budak kepada tuannya, sedangkan terhadap orang kafir bagaikan seekor singa yang siap  menerkam dan memangsa buruannya  .
3.    Jihad di jalan Allah I baik dengan diri, harta dan lisan, ini adalah perwujudan dari pengakuan cinta kepada Allah I.
4.    Mereka dalam urusan Allah I tidak memperdulikan celaan orang-orang yang mencela,ini  adalah tanda dari jujurnya kecintaan.
Tiga tanda diatas berdasarkan kepada firman Allah I:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ( المائدة : 54 ).
“ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”. ( QS. Al-Maidah :54 )
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah  berkataSesungguhnya diantara sarana-sarana yang menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah I adalah sebagai berikut :
1.    Membaca Al-qur’an disertai dengan mentadaburi, memahami arti dan maksud yang dikehendaki dari ayat tersebut.
2.    Mendekatkan diri kepada Allah I dengan amalan-amalan sunnah setelah melaksnakan amalan-amalan wajib.
3.    Selalu berdzikir pada setiap keadaan baik dengan lisan, hati dan perbuatan. Maka kecintaan Allah I kepadanya sebesar kecintaannya kepada Allah I.
4.    Mendahulukan apa yang dicintai Allah I atas apa yang disenangi dirinya sendiri pada saat hawa nafsu menguasainya.    
5.    Membiasakan hati untuk selalu memahami dan menghayati nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
6.    Selalu mengakui dan bersyukur atas semua kebaikan-kebaikan dan nikmat-nikmat-Nya baik  yang dzahir maupun yang batin .
7.    Berendah diri dihadapan-Nya.
8.    Berkholwat dengan Allah I pada waktu turunnya Allah I maksudnya pada saat sepertiga malam terakhir dengan membaca kitab-Nya, dan menutup dengan bertaubat kepada-Nya.
9.    Berkumpul bersama orang-orang yang dicintai Allah I dengan kejujuran dan selalu mengambil hikmah dari perkataan mereka.
10.     Menjauhi segala hal-hal yang dapat menghalangi antara  hatinya dengan Allah I. 
       Dengan kesepuluh sarana di atas, orang-orang yang menciantai Allah I akan sampai kepada derajat kecintaan yang paling tinggi dan dapat masuk mendekat keharibaan Allah I yang menjadi tumpuan cintanya.
Sahabat Anas radhiyallahu anhu berkata : rasulullah r bersabda :
لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين ( رواه البخارى و مسلم ).
“ Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kamu sebelum aku lebih dicintai olehnya daripada anaknya,orang tuanya dan manusia seluruhnya”. ( HR. Bukhori dan Muslim )
            Dari Umar beliau berkata, Aku berkata kepada rasulullah r "Wahai rasulullah, engkau lebih aku cintai daripada sesuatu apapun kecuali jiwaku, maka rasulullah r bersabda “ Tidak sempurna keimanan seseorang sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri ”maka Umar berkata “Demi dzat yang menurunkan kitab kepada engkau, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri " kemudian rasulullah r berkata “ sekarang wahai Umar ? sedangkan Allah I telah berfirman[8] :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [ التوبة : 24 ] .
“ Katakanlah: "Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS.At-Taubah : 24 )
                         Perhatikanlah kepada peringatan yang keras yang dijanjikan Allah I kepada orang yang lebih mencintai keluarganya dan hartanya daripada cintanya kepada Allah I, rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya.
                         Maka ketahuilah bahwa kecintaan  kepada nabi Muhammad r adalah syarat dari pada keimanan, oleh sebab itu hendaklah rasulullah r lebih engkau cintai daripada anakmu, orangtuamu, manusia seluruhnya dan juga beliau lebih engkau cintai dari dirimu sendiri[9].
Rasulullah r juga bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Anas radhiyallahu anhu :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ في الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ في النَّارِ  (رواه البخارى ).
“ Ada tiga perkara yang barang siapa terdapat didalam dirinya tiga perkara tersebut,dia pasti merasakan manisnya iman,yaitu Allah dan rosulNya lebih ia cintai daripada yang lainnya,mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah,dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran tersebut sebagaimana tidak maunya ia kalau dicampakkan kedalam neraka”. ( HR. Bukhori )
                 Hadist di atas dapat dijadikan dalil bahwa kecintaan kepada Allah I dan rasul-Nya harus didahulukan daripada kecintaan kepada selain keduanya, dikarenakan kecintaan kepada Allah  I  dan rasul-Nya merupakan tanda dari kesempurnaan keimanan seseorang, sehingga seseorang tidak akan sempurna keimanannya kecuali dengan perkara tersebut[10].
               Dalam hadits di atas rasulullah r mengkabarkan kepada kita bahwasannya apabila di dalam diri seorang muslim terpenuhi tiga hal yaitu :
1.              Mendahulukan kecintaan kepada Allah I dan rasul-Nya daripada selain kedua-Nya baik berupa kecintaan kepada keluarga maupun harta.
2.              Mencintai orang lain dikarenakan keimanannya dan ketaatannya kepada Allah I bukan dikarenakan tujuan dunia.
3.              Benci kembali kepada kekafiran dangan  kebencian yang sangat, sebagaimana bencinya ia jika dimasukkan kedalam neraka setelah dikeluarkan darinya.
             Maka ia akan merasakan manisnya iman, merasakan manisnya mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah I serta mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendapatkan ridho-Nya [11].
            Adapun penjelasan tentang bentuk manisnya keimanan adalah sebagaimana disebutkan oleh beberapa ulama diataranya :
@   Imam As-suyuthi rahimahumullah berkata berkata dalam At-Tausyih “ Merasakan manisnya iman " Didalam kalimat tersebut terdapat penggambaran, yaitu minat orang mukmin dalam  beriman diibaratkan sesuatu yang manis, dan ditetapkan baginya hasil atau buah yang diperolehnya.
@   An-Nawawi berkata “ Arti manisnya iman adalah merasakan kelezatan dalam taat kepada-Nya, dan tabah dalam mengarungi segala kesulitan, serta selalu mengutamakan kepentinganya daripada kepentingan duniawinya. kecintaan seorang  hamba kepada Allah I dengan menjalankan perintah-Nya dan menjahui sikap membangkang terhadap-Nya begitupula terhadap rasulullah I.
@   D.R Shalih Al-fauzan menyebutkan adapun yang dimaksud dengan merasakan kemanisan iman adalah merasakan kelezatan  tatkala mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah I dan mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya hanya karena mencari ridho-Nya[12].
            Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “ Maka kemanisan iman yang didalamnya terdapat kelezatan dan kebahagian, tergantung kepada kesempurnaan kecintaan seorang hamba kepada Allah I. Kesempurnaan itu dapat dicapai dengan tiga hal, yaitu menyempurnakan kecintaan ini, memurnikannya, dan menghindari  lawannya. Menyempurnakan cinta hendaknya dengan lebih mencintai Allah I dan rasul-Nya daripada yang lain, karena cinta kepada Allah I tidak cukup hanya sekedar cinta  akan tetapi harus lebih mencintai keduanya daripada yang lainnya[13].
                             Dengan kita selalu mendahulukan kecintaan kita kepada Allah I maka akan menimbulkan sikap cinta karena Allah I dan benci karena Allah I. Cinta dan benci karena Allah I adalah tanda dari kesempurnaan iman kepada-Nya. Sebagaimana rasulullah r bersabda :
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان ( رواه أبو داود ).
“ Barang siapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, mencegah karena Allah maka sungguh sempurnalah keimanannya”. (HR. Abu Dawud)
Sikap cinta dan benci karena Allah I adalah tali simpul Islam yang paling kuat, sebagaimana dijelaskan oleh rasulullah r dalam sabdanya :
 عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « أَوْثَقُ عُرَى الإسلام الْحُبُّ فِي اللهِ ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ » .
“Dari Bara’ beliau berkata, bersabda rasulullah r “ Tali simpul islam yang paling kuat  adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah " .
Dalam hadist di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya tali simpul Islam yang paling kuat adalah cinta karena Allah I dan benci karena Allah I. Adapun keberadaanya di dalam kehidupan kaum muslimin adalah sebagai pengokoh bagi tauhid dan akhlaq mereka dalam menghadapi gelombang arus kebatilan dari agama-agama selain Islam dan hukum-hukum baru buatan manusia.
Dalam masalah ini (cinta karena Allah I dan benci karena-Nya ) terdapat beberapa pembahasan sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama diantaranya[14] :
1.    Sesungguhnya cinta karena Allah I dan benci karena Allah I adalah cabang dari cinta kepada Allah I. Ini adalah ketentuan yang tidak dapat dipungkiri lagi, karena tidak mungkin timbul kecintaan dan kebencian karena Allah tanpa didasari terlebih dahulu di dalam dirinya cinta dan beribadah hanya kepada-Nya. Maka ketika ibadah seseorang kepada Allah bertambah, bertambah pula kecintaan dan kebencian karena Allah I dan demikian juga sebaliknya .
2.    Sesungguhnya cinta dan benci karena Allah I mempunyai ketentuan dan konsekuensi. Adapun ketentuan cinta karena Allah I adalah berwali kepada yang kita cintai tersebut, sedangkan ketentuan benci karena Allah I adalah bara’ atau berlepas diri dari yang kita benci tersebut. Cinta dan benci adalah perbutan batin sedangkan reaksi yang ditimbulkan dari kedua hal tersebut yang berupa wala’ dan bara’ adalah perbuatan dzahir, misal dari wala’ dan bara’ adalah  menasehati dan menolong orang-orang muslim, dan berhijrah dari negeri kafir kenegeri muslim. Maka ketika hilang konsekuensi yaitu wala’ dan bara’ maka hilang juga cinta dan benci karena Allah I. Wala’ dan bara’ akan senantiasa melekat dan timbul dari keduanya cinta karena Allah dan benci karena Allah I dalam keimanan seorang muslim.
3.    Sesungguhnya cinta dan benci karena Allah I adalah faktor terbesar bagi kemenangan agama Islam ini, dan mencegah penganiyaan orang-orang musyrik serta musuh-musuh Islam terhadap orang-orang muslim .      
                                           Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa cinta mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama ini, sehingga cinta ini dapat digunakan sebagai barometer dari sempurna atau tidaknya tauhid seseorang kepada Allah I.
            Menempatkan cinta tidak sesuai pada tempatnya akan berakibat fatal bagi pelakunya, sehingga apabila cinta yang seharusnya ditempatkan dan ditunjukkan kepada Allah I itu ditunjukkan pada selain-Nya maka pelakunya akan mendapatkan siksa  yang pedih karena dia telah berbuat syirik kepada-Nya. Oleh sebab itu seyogyanya bagi kita untuk berhati-hati dalam meletakkan cinta yang kita miliki agar kita terhindar dari yang demikian.

Referensi :
1.        Fathul majid, Syeikh Abdurrahman Alu syeikh.cetakan : Darul Aqidah .
2.        Al-fawaid Al-muntaqoh fii syarhi kitab at-tauhid, Muhammad bin Shalih  Al-Utsaimin. cetakan : Darut  thowiq lii nasyri wa tauzi’ .
3.        Tahqiqu Tajrid bii syarhil kitab tauhid, Abdul Hadi bin Muhammad bin Abdul Hadi Al-Bakari Al-‘ajili.
4.        At-tamhid lii syarhi kitab At-tauhid Aladzi huwa haqqulloh ‘ala ‘abid, Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh.cetakan : Darut tauhid.
5.        Al-mulakhos fii syarhi kitab At-tauhid, D.R Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.cetakan : Darul ‘ashomah.
6.        Ibtholu Tandid Biikhtishori Kitab Tauhid, Alamah Syeikh Hamd Bin Ali Bin Muhammad Bin Atiq .Cetakan : Darul Kitab Wa Sunah Pakistan .
7.        Tafsir Qur’anul Adzim, Abu Fida’ Ismail Bin Umar Bin Katsir Al-Qurosyi Ad-Dimasyqi.
8.        Al-Mufashol Fii Ahkami Hijrah, Ali Bin Nahif As-Sahudi.
9.        Mausu’atu a‘Ala Sufiayah .


















[1] .  Yang dimaksud dengan orang yang dzalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
[2] . Fathul majid , Syeikh Abdurrahman Alu syeikh, hal : 320 .
[3] .  Al-Fawaid Al-Muntaqoh Fii Syarhi Kitab At-Tauhid oleh Muhammad bin Shalih  Al-Utsaimin  hal : 31 – 32 .
[4] .  Ibtholi Tandid Biikhtishori Kitab Tauhid , Al-Alamah Syeikh Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘atiq.hal : 193 .

[5]  . Ibtholi tandid biikhtishori kitab tauhid, Al-Alamah Syeikh Hamd bin Ali bin Muhammad bin ‘atiq.hal : 193 .
[6]  . Tafsir qur’anul adzim,  Abu Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir Al-qurosyi Ad-dimasyqi.juz : 3 hal : 46 .
[7]  . Ibid .
[8] .  Tahqiqu Tajrid bii syarhil kitab tauhid, Abdul Hadi bin Muhammad bin Abdul Hadi Al-bakari Al-‘ajili.juz : hal : 336 .
[9] .  Ibid, hal : 335 .
[10] .  At-tamhid lii syarhi kitab At-tauhid Aladzi huwa haqqulloh ‘ala ‘abid, Shalih bin Abdu Aziz bin Muhammad bin Ibrohim Alu Syeikh.hal : 364 .
[11] .  Al-mulakhos fii syarhi kitab At-tauhid, D.R Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-fauzan.hal :254 .
[12] . Ibid.
[13] . Fathul majid, Syeikh Abdurrahman Alu syeikh,hal : 326 .
[14] .  Al-mufashol fii ahkami hijrah, Ali bin nahif as-sahudi .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar